ETIKA GOVERNANCE
I.
PENGERTIAN
ETIKA DAN PENGERTIAN GOVERNANCE
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ‘ethos’ yang berarti adat istiadat/
kebiasaan yang baik. Selain itu, etika adalah ilmu tentang tingkah laku
manusia, prinsip-prinsip tentang tindakan moral yang baik. Etika sebagai ilmu
yang mencari orientasi dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan seperti adat
istiadat, tradisi, lingkungan sosia, ideologi, agama, negara, dan lain-lain.
Governane adalah rangkaian proses, kebiasaan, kebijakan, aturan, dan
institusi yang memengaruhi pengarahan, pengelolaan, serta pengontrolan suatu
perusahaan atau korporasi.
II.
PENGERTIAN
ETIKA GOVERNANCE
Etika Governance (Etika Pemerintahan) adalah ajaran untuk berperilaku yang
baik dan benar sesuai dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan
hakikat manusia. Dalam Etika Governance terdapat juga masalah kesusilaan dan
kesopanan ini dalam aparat, aparatur, struktur dan lembaganya.
Etika Governance juga dikenal dengan sebutan Good Corporate Governance
(GCG). Menurut Bank Dunia (World Bank) GCG adalah kumpulan hukum, peraturan,
dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi yang dapat mendorong kinerja
sumber-sumber perusahaan bekerja secara efisien, menghasilkan nilai ekonomi
jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat
sekitar secara keseluruhan.
III.
TUJUAN
ETIKA GOVERNANCE
1.
Mendorong tercapainya kesinambungan
perusahaan melalui pengelolaan yang didasarkan pada asas transparansi,
akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kesetaraan dan kewajaran.
2.
Mendorong pemberdayaan fungsi dan
menadirian masing-masing organ perusahaan, yaitu Dewan Komosaris, Direksi dan
Rapat Umum Pemegang Saham.
3.
Mendorong pemegang saham, anggota Dewan
Komisaris dan anggota Direksi agar dalam membuat keputusan dan menjalankan
tindakannya dilandasi oleh nilai moral yang tinggi dan kepatuahn terhadap
peraturan perundang-undangan.
4.
Mendorong timbulnya kesadaran dan
tanggung jawab social perusahaan terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan
terutama di sekitar perusahaan.
5.
Mengoptimalkan niali perusahaan bagi
pemegang saham dengan tetap memperjatikan pemangku kepentingan lainnya.
6.
Meningkatkan daya saing perusahaan
secara nasional maupun inetrnasional, sehingga meningkatkan kepercayaan pasar
yang dapat mendorong arus investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang
berkesinambungan.
IV.
GOVERNANCE
SYSTEM
Istilah sistem pemerintahan adalah kombinasi dari dua kata, yaitu ‘sistem’
dan ‘pemerintahan’. Berarti sistem secara keseluruhan yang terdiri dari
beberapa bagian yang memiliki hubungan fungsional antara bagian-bagian dan
hubungan fungsional dari keseluruhan, sehingga hubungan ini menciptakan
ketergantungan antara bagian-bagian yang terjadi jika satu bagian tidak bekerja
dengan baik akan mempengaruhi keseluruhan. Dan pemerintahan dalam arti luas
memiliki pemahaman bahwa segala sesuatu yang dilakukan dalam menjalankan
kesejahteraan negara dan kepentingan negara itu sendiri.
Dari pengertian tersebut, secara harfiah sistem pemerintahan adalah sistem
sebagai bentuk hubungan antar lembaga negara dalam melaksanakan kekuasaan
negara untuk kepentingan negara itu sendiri dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan rakyatnya.
Governance system merupakan suatu tata kekuasaan yang terdapat di dalam
perusahaan, yang terdiri dari 4 (empat) unsur yang tidak terpisahkan yaitu :
1.
Commitment
on Governance
Commitment on Governance adalah komitmen untuk menjalankan perusahaan.
Dalam hal ini adalah dalam bidang perbankan berdasarkan prinsip kehati-hatian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dasar peraturan
yang berkaitan dengan hal ini adalah :
·
Undang
Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
·
Undang
Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo Undang Undang No. 10 Tahun 1998.
2.
Governance
Structure
Governance Structure adalah struktur kekuasaan berikut persyaratan pejabat
yang ada di bank sesuai dengan dipersyaratkan oleh peraturan perundangan yang
berlaku.
Dasar peraturan
yang berkaitan dengan hal ini adalah :
·
Peraturan
Bank Indonesia No. 1/6/PBI/1999 tanggal 20-09-1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan
dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank.
·
Peraturan
Bank Indonesia No. 2/27/PBI/2000 tanggal 15-12-2000 tentang Bank Umum
·
Peraturan
Bank Indonesia No. 5/25/PBI/2003 tanggal 10-11-2003 tentang Penilaian Kemampuan
dan Kepatutan (Fit and Proper Test).
3.
Governance
Mechanism
Governance Mechanism adalah pengaturan mengenai tugas,
wewenang dan tanggung jawab unit dan pejabat bank dalam menjalankan bisnis dan
operasional perbankan.
Dasar peraturan yang berkaitan
dengan hal ini (antara lain) adalah :
·
Peraturan
Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tanggal 19-05-2003 tentang Penerapan Manajemen
Risiko bagi Bank Umum.
·
Peraturan
Bank Indonesia No. 5/12/PBI/2003 tentang Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum bagi
Bank.
·
Peraturan
Bank Indonesia No. 6/10/PBI/2004 tanggal 12-04-2004 tentang Sistem Penilaian
Tingkat Kesehatan Bank Umum.
·
Peraturan
Bank Indonesia No. 6/25/PBI/2004 tanggal 22-10-2004 tentang Rencana Bisnis Bank
Umum.
·
Peraturan
Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tanggal 20-01-2005 jo PBI No. 8/2/PBI/2006
tanggal 30-01-2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.
·
Peraturan
Bank Indonesia No. 7/3/PBI/2005 tanggal 20-01-2005 jo PBI No. 8/13/PBI/2006
tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum.
·
Peraturan
Bank Indonesia No. 7/37/PBI/2004 tanggal 17-07-2003 tentang Posisi Devisa Netto
Bank Umum.
4.
Governance
Outcomes
Governance Outcomes adalah hasil dari pelaksanaan GCG baik
dari aspek hasil kinerja maupun cara-cara/praktek-praktek yang digunakan untuk
mencapai hasil kinerja tersebut.
Dasar
peraturan yang berkaitan dengan hal ini adalah :
·
Peraturan
Bank Indonesia No. 3/22/PBI/2001 tanggal 13-12-2001 tentang Transparansi
Kondisi Keuangan Bank.
V.
BUDAYA
ETIKA
Budaya adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pengalaman bersama
yang dialami oleh orang-orang dalam organisasi tertentu dari lingkungan sosial
mereka. Sedangkan etika berkaitan dengan masalah nilai, karena etika pada
pokoknya membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai
susila atau tidak susila, baik dan buruk. Jadi, budaya etika adalah perilaku
yang etis. Memberikan gambaran mengenai perusahaan yang mencerminkan
kepribadian para pemimpinnya. Penerapan budaya etika dilakukan secara top-down.
VI.
MENGEMBANGKAN
STRUKTRUR ETIKA KORPORASI
Membangun entitas korporasi dan menetapkan sasarannya. Pada
saat itulah perlu prinsip-prinsip moral etika ke dalam kegiatan bisnis secara
keseluruhan diterapkan, baik dalam entitas korporasi, menetapkan sasaran
bisnis, membangun jaringan dengan para pihak yang berkepentingan (stakeholders)
maupun dalam proses pengembangan diri para pelaku bisnis sendiri.
Penerapan ini diharapkan etika dapat menjadi ‘hati nurani’ dalam proses bisnis sehingga
diperoleh suatu kegiatan bisnis yang beretika dan mempunyai hati, tidak hanya
sekadar mencari untung, tetapi juga peduli terhadap lingkungan hidup,
masyarakat, dan para pihak yang berkepentingan (stakeholders).
VII.
KODE
ETIK KORPORASI
Code of Conduct adalah pedoman internal perusahaan yang berisikan
sistem nilai, etika bisnis, etika kerja, komitmen, serta penegakan terhadap
peraturan-peraturan perusahaan bagi individu dalam menjalankan bisnis, dan
aktivitas lainnya serta berinteraksi dengan stakeholders. Salah satu contoh
perusahaan yang menerapkan kode perilaku korporasi (corporate code of conduct)
adalah sebagai berikut: Workshop dan Sosialisasi.
Pengelolaan perusahaan tidak dapat dilepaskan dari
aturan-aturan main yang selalu harus diterima dalam pergaulan sosial, baik
aturan hukum maupun aturan moral atau etika. Code of Conduct merupakan
pedoman bagi seluruh pelaku bisnis dalam bersikap dan berperilaku untuk
melaksanakan tugas sehari-hari dalam berinteraksi dengan rekan sekerja, mitra
usaha dan pihak-pihak lainnya yang berkepentingan.
Pembentukan citra yang baik terkait erat dengan perilaku
perusahaan dalam berinteraksi atau berhubungan dengan para stakeholder.
Perilaku perusahaan secara nyata tercermin pada perilaku pelaku bisnisnya.
Dalam mengatur perilaku inilah, perusahaan perlu menyatakan secara tertulis
nilai-nilai etika yang menjadi kebijakan dan standar perilaku yang diharapkan
atau bahkan diwajibkan bagi setiap pelaku bisnisnya. Pernyataan dan
pengkomunikasian nilai-nilai tersebut dituangkan dalam code of conduct.
VIII.
EVALUASI
TERHADAP KODE PERILAKU KORPORASI
Pelaporan Pelanggaran Code of Conduct
Setiap individu
berkewajiban melaporkan setiap pelanggaran atas Code of Conduct yang dilakukan
oleh individu lain dengan bukti yang cukup kepada Dewan Kehormatan. Laporan
dari pihak luar wajib diterima sepanjang didukung bukti dan identitas yang
jelas dari pelapor.Dewankehormatan wajib mencatat setiap laporan
pelanggaran atas Code of Conduct dan melaporkannya kepada Direksi dengan
didukung oleh bukti yang cukup dan dapat dipertanggungjawabkan. Dewan
kehormatan wajib memberikan perlindungan terhadap pelapor.
Sanksi Atas Pelanggaran Code of Conduct
Pemberian sanksi Atas
Pelanggaran Code of Conduct yang dilakukan oleh karyawan diberikan oleh Direksi
atau pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.Pemberian
sanksi Atas Pelanggaran Code of Conduct yang dilakukan oleh Direksi dan Dewan
Komisaris mengacu sepenuhnya pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Perusahaan serta ketentuan yang berlaku.Pemberian sanksi dilakukan setelah
ditemukan bukti nyata terhadap terjadinya pelanggaran pedoman ini.
IX.
CONTOH
KASUS
JAKARTA—Masyarakat
Telematika Indonesia (Mastel) menilai terjadi pelanggaran Good Corporate
Governance (GCG) oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) kala
mengeluarkan (SE) No. 177/BRTI/2011 ke 10 operator telekomunikasi
pada medio Oktober 2011.
SE tersebut
berisikan himbauan menghentikan penawaran konten melalui SMS broadcast,
pop screen, atau voice broadcast sampai dengan batas waktu yang akan ditentukan
kemudian.
Analisis :
Layanan SMS premium
ini tentunya sudsh tidak asing lagi bagi kita, dan sudah tidak asing pula bahwa
jasa ini memberikan dampak yang sangat merugikan bagi pengguna telepon seluler.
Kerugian yang didapat tersebut adalah banyak sekali pelanggan yang pulsanya
sering habis oleh ulah para penyelenggara jasa SMS premium tersebut, walaupun
pelanggan sudah menghentikan layanan tersebut tetapi pulsa selalu saja di sedot
oleh pihak penyelenggara jasa tersebut. Hal ini tentu saja merugikan pelanggan
yang membuat keperluannya terhambat karena pulsa yang tiba-tiba habis di ambil
oleh penyelenggara jasa tersebut.
Namun dalam
mengatasi hal tersebut BRTI yang seharusnya menyelesaikan masalah ini kepada
pihak penyelenggara jasa tersebut bukan kepada operator. BRTI juga seharusnya
lebih ketat dalam pengawasan layanan tersebut agar tidak terjadi lagi peristiwa
sedot pulsa. Dalam kasus diatas juga sudah di jelaskan tentang pasal-pasal yang
tidak dilaksanakan sesuai kenyataan. Hal inilah yang membuat BRTI diduga
menyimpang dari Good Corporate Governance (GCG)
“Kami melihat adanya
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh BRTI dengan keluarnya SE
tersebut,” ungkap Ketua Umum Mastel Setyanto P Santosa.
Menurutnya,
penyimpangan terkait dengan Instruksi Peningkatan Kualitas Layanan Jasa Pesan
Premium. Menurut Pasal 8 KMNo.36/PER/M/KOMINFO/
10/2008, BRTI hanya dapat menuangkan produk pengaturan yang sifatnya perintah
dalam bentuk Keputusan Dirjen.
Berikutnya tentang
indepedensi dan profesionalitas dimana BRTI
tidak mempertimbangkan secara seksama, bahkan beberapa informasi yang seharusnya bersifat rahasia. BRTI justru melibatkan pihak lain.BRTI tidak jelas dalam mendefinisikan hal-hal yang ingin diaturnya, sehingga berdampak kepada bisnis dan cenderung dapat mematikan bisnis penyedia konten
tidak mempertimbangkan secara seksama, bahkan beberapa informasi yang seharusnya bersifat rahasia. BRTI justru melibatkan pihak lain.BRTI tidak jelas dalam mendefinisikan hal-hal yang ingin diaturnya, sehingga berdampak kepada bisnis dan cenderung dapat mematikan bisnis penyedia konten
Hal lain adalah BRTI
tidak melakukan proses yang transparan kepada para pemangku kepentingan.
Para Penyelenggara
Jasa Pesan Premium yang paling terkena dampak dari penerbitan SE tersebut tidak
dilibatkan dalam pembahasan, termasuk dalam pembahasan revisi PM No. 1/2009 tentang
Penyelenggaraan Jasa Pesan Premium dan Pengiriman Jasa Pesan Singkat (SMS) ke
banyak tujuan. Penyelenggara Jasa Pesan Premium baru dilibatkan pada saat
proses evaluasi
“Mastel
berpendapat bahwa seharusnya SE BRTI tidak langsung ditujukan kepada operator
telekomunikasi melainkan disampaikan terlebih dahulu kepada Penyelenggara Jasa
Layanan Pesan Premium. Hal ini berdasarkan Pasal 3 PM 01/2009, bahwa Jasa Pesan
Premium diselenggarakan oleh Penyelenggara Jasa Pesan Premium berdasarkan kerja
sama dengan Penyelenggara Jaringan jasa teleponi dasar,” katanya.
Terakhir
terkait, Pasal 15 PM 01/2009 menyatakan bahwa pengguna berhak mengajukan
ganti rugi kepada Penyelenggara Pesan Premium, sedangkan dalam SE BRTI
butir 4, tanggung jawab dari Penyelenggara Pesan Premium tidak dinyatakan.
Ditegaskannya, kasus
sedot pulsa tidak akan terjadi jika ada pengawasan ketat dari BRTI. Hal ini
karena penyelenggaraan Jasa Pesan Premium diselenggarakan setelah
mendapatkan izin berupa pendaftaran penyelenggaraan kepada BRTI.
“Namun sayangnya
tidak pernah dilakukan evaluasi/analisa atau diseleksi oleh
BRTI. Seharusnya BRTI dapat membina dan mengendalikannya misalnya pengendalian pemberian short code,” katanya.(id)
BRTI. Seharusnya BRTI dapat membina dan mengendalikannya misalnya pengendalian pemberian short code,” katanya.(id)
DAFTAR PUSTAKA