Sabtu, 17 Oktober 2015

ETIKA GOVERNANCE


I.                   PENGERTIAN ETIKA DAN PENGERTIAN GOVERNANCE
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ‘ethos’ yang berarti adat istiadat/ kebiasaan yang baik. Selain itu, etika adalah ilmu tentang tingkah laku manusia, prinsip-prinsip tentang tindakan moral yang baik. Etika sebagai ilmu yang mencari orientasi dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan seperti adat istiadat, tradisi, lingkungan sosia, ideologi, agama, negara, dan lain-lain.
Governane adalah rangkaian proses, kebiasaan, kebijakan, aturan, dan institusi yang memengaruhi pengarahan, pengelolaan, serta pengontrolan suatu perusahaan atau korporasi.

II.                PENGERTIAN ETIKA GOVERNANCE
Etika Governance (Etika Pemerintahan) adalah ajaran untuk berperilaku yang baik dan benar sesuai dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hakikat manusia. Dalam Etika Governance terdapat juga masalah kesusilaan dan kesopanan ini dalam aparat, aparatur, struktur dan lembaganya.
Etika Governance juga dikenal dengan sebutan Good Corporate Governance (GCG). Menurut Bank Dunia (World Bank) GCG adalah kumpulan hukum, peraturan, dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi yang dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan bekerja secara efisien, menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan.

III.             TUJUAN ETIKA GOVERNANCE
1.      Mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melalui pengelolaan yang didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kesetaraan dan kewajaran.
2.      Mendorong pemberdayaan fungsi dan menadirian masing-masing organ perusahaan, yaitu Dewan Komosaris, Direksi dan Rapat Umum Pemegang Saham. 
3.      Mendorong pemegang saham, anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi agar dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakannya dilandasi oleh nilai moral yang tinggi dan kepatuahn terhadap peraturan perundang-undangan.
4.      Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab social perusahaan terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan.
5.      Mengoptimalkan niali perusahaan bagi pemegang saham dengan tetap memperjatikan pemangku kepentingan lainnya. 
6.      Meningkatkan daya saing perusahaan secara nasional maupun inetrnasional, sehingga meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong arus investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkesinambungan. 

IV.             GOVERNANCE SYSTEM
Istilah sistem pemerintahan adalah kombinasi dari dua kata, yaitu ‘sistem’ dan ‘pemerintahan’. Berarti sistem secara keseluruhan yang terdiri dari beberapa bagian yang memiliki hubungan fungsional antara bagian-bagian dan hubungan fungsional dari keseluruhan, sehingga hubungan ini menciptakan ketergantungan antara bagian-bagian yang terjadi jika satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhan. Dan pemerintahan dalam arti luas memiliki pemahaman bahwa segala sesuatu yang dilakukan dalam menjalankan kesejahteraan negara dan kepentingan negara itu sendiri.
Dari pengertian tersebut, secara harfiah sistem pemerintahan adalah sistem sebagai bentuk hubungan antar lembaga negara dalam melaksanakan kekuasaan negara untuk kepentingan negara itu sendiri dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyatnya.

Governance system merupakan suatu tata kekuasaan yang terdapat di dalam perusahaan, yang terdiri dari 4 (empat) unsur yang tidak terpisahkan yaitu :
1.      Commitment on Governance
Commitment on Governance adalah komitmen untuk menjalankan perusahaan. Dalam hal ini adalah dalam bidang perbankan berdasarkan prinsip kehati-hatian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dasar peraturan yang berkaitan dengan hal ini adalah :
·         Undang Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
·         Undang Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo Undang Undang No. 10 Tahun 1998.

2.      Governance Structure
Governance Structure adalah struktur kekuasaan berikut persyaratan pejabat yang ada di bank sesuai dengan dipersyaratkan oleh peraturan perundangan yang berlaku.
Dasar peraturan yang berkaitan dengan hal ini adalah :
·         Peraturan Bank Indonesia No. 1/6/PBI/1999 tanggal 20-09-1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank.
·         Peraturan Bank Indonesia No. 2/27/PBI/2000 tanggal 15-12-2000 tentang Bank Umum
·         Peraturan Bank Indonesia No. 5/25/PBI/2003 tanggal 10-11-2003 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test).

3.      Governance Mechanism
Governance Mechanism adalah pengaturan mengenai tugas, wewenang dan tanggung jawab unit dan pejabat bank dalam menjalankan bisnis dan operasional perbankan.
  Dasar peraturan yang berkaitan dengan hal ini (antara lain) adalah :
·         Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tanggal 19-05-2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum.
·         Peraturan Bank Indonesia No. 5/12/PBI/2003 tentang Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum bagi Bank.
·         Peraturan Bank Indonesia No. 6/10/PBI/2004 tanggal 12-04-2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.
·         Peraturan Bank Indonesia No. 6/25/PBI/2004 tanggal 22-10-2004 tentang Rencana Bisnis Bank Umum.
·         Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tanggal 20-01-2005 jo PBI No. 8/2/PBI/2006 tanggal 30-01-2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.
·         Peraturan Bank Indonesia No. 7/3/PBI/2005 tanggal 20-01-2005 jo PBI No. 8/13/PBI/2006 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum.
·         Peraturan Bank Indonesia No. 7/37/PBI/2004 tanggal 17-07-2003 tentang Posisi Devisa Netto Bank Umum.

4.      Governance Outcomes
Governance Outcomes adalah hasil dari pelaksanaan GCG baik dari aspek hasil kinerja maupun cara-cara/praktek-praktek yang digunakan untuk mencapai hasil kinerja tersebut.
Dasar peraturan yang berkaitan dengan hal ini adalah :
·         Peraturan Bank Indonesia No. 3/22/PBI/2001 tanggal 13-12-2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank.

V.                BUDAYA ETIKA
Budaya adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pengalaman bersama yang dialami oleh orang-orang dalam organisasi tertentu dari lingkungan sosial mereka. Sedangkan etika berkaitan dengan masalah nilai, karena etika pada pokoknya membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai susila atau tidak susila, baik dan buruk. Jadi, budaya etika adalah perilaku yang etis. Memberikan gambaran mengenai perusahaan yang mencerminkan kepribadian para pemimpinnya. Penerapan budaya etika dilakukan secara top-down.

VI.             MENGEMBANGKAN STRUKTRUR ETIKA KORPORASI
Membangun entitas korporasi dan menetapkan sasarannya. Pada saat itulah perlu prinsip-prinsip moral etika ke dalam kegiatan bisnis secara keseluruhan diterapkan, baik dalam entitas korporasi, menetapkan sasaran bisnis, membangun jaringan dengan para pihak yang berkepentingan (stakeholders) maupun dalam proses pengembangan diri para pelaku bisnis sendiri.
Penerapan ini diharapkan etika dapat menjadi hati nurani dalam proses bisnis sehingga diperoleh suatu kegiatan bisnis yang beretika dan mempunyai hati, tidak hanya sekadar mencari untung, tetapi juga peduli terhadap lingkungan hidup, masyarakat, dan para pihak yang berkepentingan (stakeholders).

VII.          KODE ETIK KORPORASI
Code of Conduct adalah pedoman internal perusahaan yang berisikan sistem nilai, etika bisnis, etika kerja, komitmen, serta penegakan terhadap peraturan-peraturan perusahaan bagi individu dalam menjalankan bisnis, dan aktivitas lainnya serta berinteraksi dengan stakeholders. Salah satu contoh perusahaan yang menerapkan kode perilaku korporasi (corporate code of conduct) adalah sebagai berikut: Workshop dan Sosialisasi.
Pengelolaan perusahaan tidak dapat dilepaskan dari aturan-aturan main yang selalu harus diterima dalam pergaulan sosial, baik aturan hukum maupun aturan moral atau etika. Code of Conduct merupakan pedoman bagi seluruh pelaku bisnis dalam bersikap dan berperilaku untuk melaksanakan tugas sehari-hari dalam berinteraksi dengan rekan sekerja, mitra usaha dan pihak-pihak lainnya yang berkepentingan.
Pembentukan citra yang baik terkait erat dengan perilaku perusahaan dalam berinteraksi atau berhubungan dengan para stakeholder. Perilaku perusahaan secara nyata tercermin pada perilaku pelaku bisnisnya. Dalam mengatur perilaku inilah, perusahaan perlu menyatakan secara tertulis nilai-nilai etika yang menjadi kebijakan dan standar perilaku yang diharapkan atau bahkan diwajibkan bagi setiap pelaku bisnisnya. Pernyataan dan pengkomunikasian nilai-nilai tersebut dituangkan dalam code of conduct.

VIII.       EVALUASI TERHADAP KODE PERILAKU KORPORASI
Pelaporan Pelanggaran Code of Conduct
Setiap individu berkewajiban melaporkan setiap pelanggaran atas Code of Conduct yang dilakukan oleh individu lain dengan bukti yang cukup kepada Dewan Kehormatan. Laporan dari pihak luar wajib diterima sepanjang didukung bukti dan identitas yang jelas dari pelapor.Dewankehormatan wajib mencatat setiap laporan pelanggaran atas Code of Conduct dan melaporkannya kepada Direksi dengan didukung oleh bukti yang cukup dan dapat dipertanggungjawabkan. Dewan kehormatan wajib memberikan perlindungan terhadap pelapor.

Sanksi Atas Pelanggaran Code of Conduct
Pemberian sanksi Atas Pelanggaran Code of Conduct yang dilakukan oleh karyawan diberikan oleh Direksi atau pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.Pemberian sanksi Atas Pelanggaran Code of Conduct yang dilakukan oleh Direksi dan Dewan Komisaris mengacu sepenuhnya pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perusahaan serta ketentuan yang berlaku.Pemberian sanksi dilakukan setelah ditemukan bukti nyata terhadap terjadinya pelanggaran pedoman ini.

IX.             CONTOH KASUS
JAKARTA—Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menilai terjadi pelanggaran Good Corporate Governance (GCG) oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) kala mengeluarkan (SE) No. 177/BRTI/2011   ke 10 operator telekomunikasi pada medio Oktober 2011.
SE tersebut berisikan himbauan  menghentikan penawaran konten melalui SMS broadcast, pop screen, atau voice broadcast sampai dengan batas waktu yang akan ditentukan kemudian.

Analisis :
Layanan SMS premium ini tentunya sudsh tidak asing lagi bagi kita, dan sudah tidak asing pula bahwa jasa ini memberikan dampak yang sangat merugikan bagi pengguna telepon seluler. Kerugian yang didapat tersebut adalah banyak sekali pelanggan yang pulsanya sering habis oleh ulah para penyelenggara jasa SMS premium tersebut, walaupun pelanggan sudah menghentikan layanan tersebut tetapi pulsa selalu saja di sedot oleh pihak penyelenggara jasa tersebut. Hal ini tentu saja merugikan pelanggan yang membuat keperluannya terhambat karena pulsa yang tiba-tiba habis di ambil oleh penyelenggara jasa tersebut.
Namun dalam mengatasi hal tersebut BRTI yang seharusnya menyelesaikan masalah ini kepada pihak penyelenggara jasa tersebut bukan kepada operator. BRTI juga seharusnya lebih ketat dalam pengawasan layanan tersebut agar tidak terjadi lagi peristiwa sedot pulsa. Dalam kasus diatas juga sudah di jelaskan tentang pasal-pasal yang tidak dilaksanakan sesuai kenyataan. Hal inilah yang membuat BRTI diduga menyimpang dari Good Corporate Governance (GCG)
“Kami melihat adanya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh BRTI dengan keluarnya SE tersebut,” ungkap Ketua Umum Mastel Setyanto P Santosa.
Menurutnya, penyimpangan terkait dengan Instruksi Peningkatan Kualitas Layanan Jasa Pesan Premium. Menurut Pasal 8 KMNo.36/PER/M/KOMINFO/ 10/2008, BRTI hanya dapat menuangkan produk pengaturan yang sifatnya perintah dalam bentuk Keputusan Dirjen.
Berikutnya tentang indepedensi dan profesionalitas  dimana  BRTI
tidak mempertimbangkan secara seksama, bahkan beberapa informasi yang seharusnya bersifat rahasia. BRTI justru  melibatkan pihak lain.BRTI tidak jelas dalam mendefinisikan hal-hal yang ingin diaturnya, sehingga berdampak kepada bisnis dan cenderung dapat mematikan bisnis penyedia konten
Hal lain adalah BRTI tidak melakukan proses yang transparan kepada para pemangku kepentingan.
Para Penyelenggara Jasa Pesan Premium yang paling terkena dampak dari penerbitan SE tersebut tidak dilibatkan dalam pembahasan, termasuk dalam pembahasan revisi PM No. 1/2009 tentang Penyelenggaraan Jasa Pesan Premium dan Pengiriman Jasa Pesan Singkat (SMS) ke banyak tujuan.  Penyelenggara Jasa Pesan Premium baru dilibatkan pada saat proses evaluasi
“Mastel  berpendapat bahwa seharusnya SE BRTI tidak langsung ditujukan kepada operator telekomunikasi melainkan disampaikan terlebih dahulu kepada Penyelenggara Jasa Layanan Pesan Premium. Hal ini berdasarkan Pasal 3 PM 01/2009, bahwa Jasa Pesan Premium diselenggarakan oleh Penyelenggara Jasa Pesan Premium berdasarkan kerja sama dengan Penyelenggara Jaringan jasa teleponi dasar,” katanya.
Terakhir terkait,  Pasal 15 PM 01/2009 menyatakan bahwa pengguna berhak mengajukan ganti rugi kepada Penyelenggara Pesan Premium,  sedangkan dalam SE BRTI butir 4, tanggung jawab dari Penyelenggara Pesan Premium tidak dinyatakan.
Ditegaskannya, kasus sedot pulsa tidak akan terjadi jika ada pengawasan ketat dari BRTI. Hal ini karena  penyelenggaraan Jasa Pesan Premium diselenggarakan setelah mendapatkan izin berupa pendaftaran penyelenggaraan kepada BRTI.
“Namun sayangnya tidak pernah dilakukan evaluasi/analisa atau diseleksi oleh
BRTI. Seharusnya BRTI dapat membina dan mengendalikannya misalnya pengendalian pemberian short code,” katanya.(id)




DAFTAR PUSTAKA